Pada penghujung tahun 2014 lalu, tepatnya pada hari Minggu
pagi 28/12/2014 sebuah pesawat maskapai
Malaysia yang dikelola oleh cabangnya di Indonesia, Air Asia nomer penerbangan QZ- 8501 hilang dari radar setelah sebelumnya terhadang oleh badai tropis di Laut Jawa.
Malaysia yang dikelola oleh cabangnya di Indonesia, Air Asia nomer penerbangan QZ- 8501 hilang dari radar setelah sebelumnya terhadang oleh badai tropis di Laut Jawa.
telah dijelaskan bahwa pesawat jenis Airbus A320-200 dengan
nomer registrasi PK-ACX itu meminta izin kepada ATC Jakarta untuk berbelok atau
bergeser arah sekitar 7 kilometer dari badai tropis yang berada di depannya,
dan izin pun diberikan.
Tak lama pilot meminta izin kali kedua, dan kini meminta
menaikkan ketinggiannya dari ketinggian
32.000 kaki menuju ke 38.000 kaki. Namun karena ada pesawat Air Asia lain yang
ada diatasnya yakni AirAsia 502, maka izin hanya diberikan ke ketinggian 34.000
kaki.
Sedangkan badai tropis yang tengah menghadang di depannya,
“berdiri” awan cumulonimbus setinggi 48.000 kaki, jauh lebih tinggi dari izin
yang dikeluarkan, bahkan lebih tinggi dari permintaan mereka sendiri!
Menilik ketinggiannya saja, pesawat mungkin masih akan
berhadapan dengan awan bila naik ke ketinggian 38.000 kaki. Namun, apakah
pesawat bisa menghindar dari awan atau tidak, hal itu sangat tergantung pada
besarnya awan itu sendiri.
“Request to higher level (Permintaan penambahan
ketinggian),” ujar Kapten Irianto, pilot Airasia QZ8501, yang saat itu
menerbangkan pesawatnya di ketinggian 32.000 kaki.
Setelah itu, petugas ATC Bandara Soekarno-Hatta menjawab
langsung permintaan itu.
“Intended to what level? (Maksudnya pada ketinggian
berapa?)” tanya petugas ATC Jakarta.
Pada saat itu
komunikasi baru saja berganti, dari ATC Surabaya ke ATC Jakarta. Maka
sepertinya bisa jadi petugas ATC Jakarta tak tahu permasalahan yang sedang
dihadapi krew kokpit sedang dihadang awan tinggi bagai raksasa itu.
Pilot yang sedang
dihadang awan tinggi bagai raksasa itu menyatakan ingin terbang di ketinggian
38.000 kaki tanpa menyebutkan alasannya. Pihak ATC Bandara Soekarno-Hatta
kemudian mengontak ATC Bandara Changi Internasional, Singapura, untuk melakukan
koordinasi.
Hanya butuh waktu
2-3 menit untuk berkomunikasi dengan Singapura. Dari situlah, ATC Jakarta
memberikan izin agar pesawat naik 34.000 kaki. Namun saat ATC Jakarta
menyampaikan jawaban agar naik ke 34.000 kaki, sudah tidak ada lagi jawaban
lagi dari AirAsia QZ8501 itu, sekitar pukul 06.14 WIB.
Misteri
Seputar Air Asia QZ-8501
Banyak kejadian
yang masih diselimuti misteri semanjak hilang hingga jatuhnya pesawat Air Asia
QZ8501 di Laut Jawa seputar Kepulan Karimata. Akibatnya, lebih banyak
pertanyaan yang bergulir dibanding dengan jawabannya. Berikut beberapa misteri
seputar Air Asia QZ8501.
1. Misteri Jadwal
Terbang AirAsia Surabaya-Singapura Dimajukan ke Jam Sibuk di Cuaca Yang Buruk
Memajukan jadwal
penerbangan ke jam yang sibuk dan pada saat cuaca buruk dianggap sebagai
keputusan yang salah. Pesawat itu harusnya berangkat pukul 08:00 AM pagi namun
dimajukan menjadi ke pukul 05.30 AM pagi hari.
Pada pagi hari
pukul 05.30 AM adalah jam sibuk penerbangan. Semua itu terlihat dari jalur
penerbangan diwilayah itu yang padat. Koran The Straits Time Singapura
menampilkan grafis yang memperlihatkan posisi pesawat-pesawat yang padat di
jalur maut itu sesaat sebelum kecelakaan terjadi.
AirAsia 8501
terbang di ketinggian 32 ribu kaki, paling rendah. Di atas AirAsia 8501 ada
tujuh pesawat lainnya (lihat gambar di samping).
Masuk akal kalau menara
pengawas (ATC) tidak memberi izin ke pilot AirAsia 8501 untuk menambah
ketinggian.
Apakah boleh
dibenarkan atau mengapa dibenarkan AirAsia memajukan jadwal penerbangan dari
jadwal semula pukul 08.00 ke pukul 05.30? Apalagi sudah diketahui melalui
satelit bahwa terjadi cuaca buruk di perlintasannya. Cuaca juga merah di
beberapa spot.
Memajukan jadwal
penerbangan ke jam yang sibuk dan pada saat cuaca buruk dianggap sebagai
keputusan yang salah. Masalahnya, seperti terlihat pada grafis, dalam kondisi
cuaca buruk, pilot membutuhkan ruang manuver yang lebih besar dan lebih tinggi.
Hal itulah yang tidak diperoleh pilot berpengalaman dari AirAsia 8501.
Suatu keputusan
yang tak bijak, ditengah cuaca buruk pada flight path yang telah terlihat oleh
satelit dan ketinggian paling rendah, membuat pilot tidak memiliki ruang untuk
menaikan pesawat ditambah jadwal dimajukan ke jam sibuk.
Lalu lintas jalur
penerbangan itu ibarat sama saja dengan jalan tol dan biasa disebut “jalan udara” atau “jalur penerbangan”
(flight path) dan sebisa mungkin pilot tidak melenceng walaupun mereka bisa
dengan leluasa kemana mereka suka. Dan jalan udara itu bersusun atau bertingkat
(lihat pada gambar), dan tiap tingkat berlawan arah sejauh ribuan feet pada
tiap tingkatan agar tidak terjadi tabrakan udara. Oleh karenanya sangat
berbahaya jika menaiki sebuah tingkatan tanpa konfirmasi dengan ATC terdekat
(lihat contoh jalur udara di video youtube).
Namun ada soal
yang lebih besar lagi yaitu: Apakah kita bisa menggantung nasib kita, nasib
keluarga kita, pada pengelola industri penerbangan? Apakah maskapai penerbangan
berbiaya murah benar-benar harganya murah, atau nyawa manusia yang dinilai
murah? Inilah inti persoalannya: Seberapa kuat otoritas penerbangan dan
pengelola low cost carrier berpihak pada nasib manusia?
2. Direktur
AirAsia anggap briefing pilot sebelum penerbangan sebagai cara tradisional
alias kuno
Menteri
Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan sempat marah besar lantaran salah satu
Direktur AirAsia menganggap briefing pilot sebelum penerbangan sebagai cara
tradisional alias kuno. Padahal aturan itu yang sudah berlaku secara
internasional. “Mengambil info cuaca secara fisik dari BMKG itu cara
tradisional,” kata Hadi Staf Khusus Menhub, sembari menirukan kata-kata salah
satu Direktur AirAsia, Jakarta, Jumat (2/1/2014).
Mendengar jawaban
tersebut Jonan nampak kesal dan kemudian memarahi sang direktur tersebut.
“Kalau ada aturan Anda harus patuh, jangan coba-coba melawan. Bisa saya cabut izin Anda,” ucap Jonan
seperti disampaikan Hadi. Jonan pun meminta agar AirAsia melakukan prosedur
yang seharusnya. Permintaan Menhub itu pun disanggupi oleh pihak AirAsia dan
berjanji akan segera menindaklanjuti perintah tersebut.
3. Misteri Jadwal
Terbang AirAsia Surabaya-Singapura di Hari Minggu, Siapa Izinkan?
AirAsia tujuan
Surabaya-Singapura dibekukan izin terbangnya sejak 2 Januari 2015. Salah satu
alasannya karena melanggar izin terbang pada hari Minggu. Sesuai izin yang
dikeluarkan sejak 26 Oktober 2014, AirAsia hanya diberikan izin terbang pada
Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu, atau istilah kode hari adalah: 1, 2, 4, 6.
Inilah adalah izin resmi yang dikeluarkan untuk Indonesia AirAsia jurusan
Surabaya-Singapura dengan nomer penerbangan 8501 dan izin itu baru berakhir
hingga 26 Maret 2015.
Namun kenyataan
pada pelaksanaannya, rute Surabaya-Singapura itu dilaksanakan diluar izin yang
diberikan yaitu hari Senin, Rabu, Jum’at dan Minggu, atau istilah kode hari
adalah: 1, 3, 5, 7. Inilah adalah illegal dari perjanjian yang telah disepakati
Indonesia AirAsia jurusan Surabaya-Singapura dengan nomer penerbangan 8501.
Bila AirAsia tak
berizin terbang di hari Minggu, kenapa bisa nekat? Siapa yang memberi izin?
Pastinya, Dirjen Perhubungan Udara tak pernah mengeluarkan izin terbang untuk
hari Minggu. Bisa jadi ini hanyalah kesempatan untuk menjaring konsumen yang
berlimpah dikala liburan akhir tahun 2014, ujungnya hanya karena bisnis dan
duit hanya dari satu pihak, yang mereka nilai jauh lebih penting diatas
perjanjian serta keselamatan penumpang, dan ini adalah pelanggaran atas
persetujuan rute.
Maka penerbangan
Indonesia AirAsia pada rute ini dibekukan sementara oleh Menhub dan berlaku
sejak 2 Januari 2015. Pembekuan tersebut bisa menjadi kebaikan dan pembelajaran
kepada semua maskapai. Pembekuan sementara ini tertuang dalam surat Direktur
Jenderal Perhubungan Udara No.AU. 008/1/1/DRJU-DAU-2015.
4. Terbang tanpa
membawa laporan prakiraan cuaca dari BMKG
Pesawat Air Asia
QZ8501 terbang tanpa membawa laporan prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kepala BMKG Andi E. Sakya mengatakan padahal
saat itu citra satelit menangkap beberapa wilayah di Indonesia berawan dan
berpotensi tumbuh awan kumulonimbus. Air Asia baru mengambil bahan informasi
cuaca 42 menit setelah pesawat Air Asia QZ8501 menghilang. Hal ini terungkap
melalui dokumen yang dikirim Kepala BMKG kepada Menteri Perhubungan pada 31
Desember 2014. BMKG tak membantah dokumen tersebut.
“Air Asia
mengambil laporan cuaca pada pukul 07.00 WIB,” kata Andi melalui pesan singkat
pada Kamis, 1 Januari 2015. Padahal, pesawat tersebut terbang sekitar pukul
06.00 WIB. Petugas Flight Operations Officer (FOO) tersebut baru mengambil
setelah hilang kontak.
Andi menuturkan
tidak adanya laporan cuaca yang dibawa Air Asia QZ8501 sempat menjadi
pembahasan dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo.
Dalam rapat
tersebut, BMKG menunjukkan keharusan maskapai penerbangan mengantongi prakiraan
cuaca BMKG dalam menyusun rencana terbang. Keharusan tersebut dituangkan dalam
Civil Aviation Safety Regulation bagian 121. Dalam presentasi tersebut juga
disebutkan ada dua pesawat yang terbang dari Surabaya dengan tujuan Singapura
yaitu Cina Airlines 752 yang terbang pukul 06.05 WIB dan Garuda Airlines pada
pukul 07.30 WIB. Kedua pesawat ini mengambil laporan cuaca BMKG.
5 . Terbang Dibawah Peringatan dari European Aviation Safety Agency (EASA)
European Aviation
Safety Agency (EASA) memperingatkan seluruh maskapai di dunia yang menggunakan
pesawat Airbus tipe tertentu agar mewaspadai potensi pesawat lepas kendali
ketika menanjak (stall warning). Dokumen yang dirilis pada 10 Desember 2014
dengan nomer AD #: 2014-25-51, ditujukan kepada seluruh pemilik Airlines:
DATE: December 10, 2014
AD #:
2014-25-51
Emergency Airworthiness Directive (AD) 2014-25-51 is sent to
owners and operators of Airbus Model A318, A319, A320, and A321 series
airplanes.
An occurrence was reported where an Airbus A321 aeroplane
encountered a blockage of two Angle of Attack (AoA) probes during climb,
leading to activation of the Alpha Protection (Alpha Prot) while the Mach
number increased. The flightcrew managed to regain full control and the flight
landed uneventfully.
When Alpha Prot is activated due to blocked AoA probes, the
flight control laws order a continuous nose down pitch rate that, in a worst
case scenario, cannot be stopped with backward sidestick inputs, even in the
full backward position. If the Mach number increases during a nose down order,
the AoA value of the Alpha Prot will continue to decrease. As a result, the
flight control laws will continue to order a nose down pitch rate, even if the
speed is above minimum selectable speed, known as VLS.”
EASA mengeluarkan dokumen yang terdiri dari 4 halaman itu
tentang bahaya jika pesawat terbang jenis Airbus model A318, A319, A320, dan
seluruh seri Airbus A321 terbang menanjak dengan tajam
Memang hal itu bisa dibilang sebagai sebuah keputusan pilot
yang sangat jarang terjadi, bahkan tak pernah.
Namun jika terjadi sebuah situasi darurat atau sangat darurat
atau harus ditempuh, maka bisa saja manuver seperti itu dilakukan oleh krew
cockpit.
Namun nantinya bukan pemecahan masalah yang didapat, tapi
justru terjadi hal yang jauh lebih fatal terhadap pesawat dan keselamatan
seluruh penumpang terancam.
Dokumen itu diterbitkan pada 10 Desember 2014 oleh EASA dan
ditujukan untuk Airbus termasuk jenis A320-216 seperti yang dipakai Air Asia.
6. Tiga menit
terakhir yang misterius: Pilot Air Asia tak menyahut ATC sejak tiga menit
sebelum hilang
Direktur Keselamatan
dan Standar AirNav Indonesia (Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi
Penerbangan Indonesia) Wisnu Darjono mengatakan air traffic controllers (ATC)
Soekarno-Hatta sebenarnya sudah memberikan izin pesawat AirAsia QZ 8501 naik ke
ketinggian 34 ribu kaki sebelum dinyatakan hilang.
Persetujuan itu
dikirim ke pilot pada pukul 06.14 WIB, Ahad, 28 Desember 2014, tiga menit
sebelum pesawat hilang dari radar.
“Di radar,
pesawat masih ada, tapi tak ada jawaban,” kata Wisnu di kantor Otoritas Bandara
Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Senin, 29 Desember 2014.
ATC, kata Wisnu,
kemudian memanggil kembali pilot AirAsia tapi tetap tak dapat respon. ATC
lantas meminta bantuan kepada pesawat AirAsia lainnya agar memanggil pilot QZ
8501 tapi tetap tak ada respon.
“Padahal ATC bisa
bicara dengan semua pesawat,” katanya.
Menurut Wisnu,
kronologi hilangnya AirAsia bermula ketika pilot meminta izin naik ke
ketinggian 38 ribu kaki untuk menghindari gangguan cuaca pada pukul 06.12 WIB.
ATC memerintahkan pilot mempertahankan ketinggian tapi mengizinkan pesawat
menyimpang sejauh 7 mil ke kiri.
*Beberapa teori
tentang jatuhnya AIRASIA QZ-8501*
Tim SAR menemukan
jasad yang masih memakai jaket pelampung, juga ditemukan tangga peluncur turun
darurat (excavation slide) yang sempat dilepas, juga pompa hidrolik, serta
tabung selam. Selain itu ditemukan pula 3 jasad yang masih berjajar dikursi
penumpang lengkap dengan Safety Belt yang masih terpasang, bahkan ada 3-4 jasad
yang masih berpegangan tangan. Terlihat pula mirip bayangan pesawat di dalam
air, namun kenapa seolah-olah bangkai pesawat itu hilang lagi?
Ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan tentang bagaimana kejadian yang sebenarnya ketika pesawat
berpenumpang 162 orang itu jatuh ke laut. Apakah pesawat berhasil mendarat di laut?
Apakah para penumpang sempat selamat? Lalu memakai jaket pelampung? Lalu
menurunkan tangga darurat? Semua jawaban dari pertanyaan itu masih menjadi
misteri selama black box belum ditemukan untuk dapat diteliti lebih lanjut.
Kebenaran soal
jatuhnya pesawat rute Surabaya-Singapura itu baru bisa diungkap melalui black
box atau kotak hitam yang terdiri dari cockpit voice recorders (CVR) atau
percakapan di kokpit dan flight data recorder (FRD) atau rekaman data
penerbangan.
Satu pertanyaan
besar yang belum terjawab adalah mengapa pesawat yang mengangkut 162 orang
tersebut bisa jatuh ke perairan Selat Karimata, antara Pulau Belitung-Sumatera
dan Pulau Kalimantan tak ada sinyal darurat (distress call) atau ELT (emergency
locator transmitter) yang dipancarkan? (dengarkan contoh sinyal ELT disini)
Tiada petunjuk, hanya ada perairan luas untuk disisir dan beragam tanda tanya
besar.
Banyak analisis
yang mencuat dari ahli penerbangan. Tapi satu yang pasti. Kebenaran soal
jatuhnya pesawat rute Surabaya-Singapura itu baru bisa diungkap melalui black
box atau kotak hitam yang terdiri dari cockpit voice recorders (CVR) atau
percakapan di kokpit dan flight data recorder (FRD) atau rekaman data
penerbangan.
Berikut 6 teori
jatuhnya AirAsia QZ8501, seperti dimuat News.com.au, Sabtu (3/1/2015) via
liputan6.com.
1.Mendarat
Mulus di Laut
![]() |
airasia QZ 8501 landing on the sea water |
Dugaan ini berasal dari jasad-jasad korban beserta serpihan
pesawat QZ8510 yang berhasil dikumpulkan oleh tim BASARNAS. Ditemukan ada 3 penumpang yang masih bergandengan
tangan pada pencarian dihari ketiga (Selasa 30/12/2014).
Lalu, tim SAR
telah mendapatkan satu jasad yang masih mengenakan pelampung yang ditemukan
oleh kapal Malaysia KD Lekir pada pencarian hari kelima (Kamis 01/01/2015),
bahkan ada evacuation slide (tangga darurat) untuk turun penumpang juga telah
ditemukan.
Kemudian, juga
ditemukan sederet (3 orang) jasad yang masih duduk dibangku kabin pesawat pada
pencarian dihari keenam (Jum’at 02/01/2015) yang awalnya dilihat oleh pesawat
P3-C Orion KN-01 milik Korea Selatan, yang lalu direspon oleh KR Bung Tomo.
Lalu sorenya
masih dihari yang sama (Jum’at 02/01/2015), ada lagi 2 jasad yang mengapung
bersama dengan kursinya. Semua jasad dari kedua penemuan berikut kedua bangku
itu dievakuasi oleh KRI Bung Tomo. Jadi ada 5 jenazah masih terikat di kursi
pesawat.
Lagi, pada
pencarian dihari kesembilan (Senin 05/01/2015) tim SAR juga menemukan hal yang
serupa, 3 jasad yang masih duduk dibangku kabin pesawat. (baca kisah evakuasi
AirAsia QZ8501, TIMELINE: Persiapan, Pencarian, Penemuan, Pengangkatan Puing
(Air Asia QZ-8501 PART-4)
Bisa jadi ketika
pesawat mendarat darurat, badan pesawat pecah namun tak semua penumpang
meninggal dunia. Namun jika pesawat retak atau pecah, maka penyelamatan harus
cepat apalagi dalam badai ditengah laut menjadikan sangat tipis peluang mereka
untuk dapat bertahan hidup, kecuali permukaan air tenang tak berombak besar.
Jika mereka tidak segera ditolong maka korban akan kedingian (hypothermia),
kelelahan lalu tenggelam.
Peristiwa
pendaratan darurat diatas air ini pernah dialami oleh US Airways 1549 ketika
melakukan pendaratan darurat di atas Sungai Hudson pada 15 Januari 2009 lalu,
pukul 15:32 waktu setempat. Kejadian itu berawal akibat gagalnya mesin karena
menabrak sekumpulan burung tak lama setelah mengudara atau take off.
Lalu pilot tak
sempat lagi untuk kembali ke bandara dan memutuskan untuk mendarat darurat di
Sungai Hudson, akhir yang menggembirakan karena semua penumpangnya selama.
Kapten pilot
Iriyanto yang memiliki pengalaman terbang yang cukup lama diyakini bisa
melakukannya tanpa dampak yang signifikan. Namun saat pesawat sudah tiba di
laut, ada ombak tinggi dan deras yang menerjang sehingga pesawat tenggelam.
Sinyal darurat ELT diduga mati saat pesawat terbang masuk ke dalam air. Namun pendaratan di laut sangat sulit
dilakukan karena hanya bisa dilakukan jika air laut tenang.
2. Pesawat Hancur Menghantam Laut
Teori lain
menyebut pesawat hancur usai menghantam perairan. Hal itu terjadi setelah
pesawat terbang diduga jatuh karena aerodynamic stall atau kondisi di mana
pesawat terjun bebas akibat tekanan udara yang tidak stabil.
Kejadian ini
nyaris mirip Adam Air 574 jurusan Surabaya-Manado yang jatuh menghantam laut
setelah tahun baru, 1 Januari 2007. Namun bedanya, tragedi Adam Air bermula
atau diawali dari rusaknya alat navigasi dan menyimpang jauh keluar dari jalur
penerbangan yang seharusnya.
Maka untuk
kembali lagi ke jalur yang benar, ia justru menuju ke sebuah awan comulonimbus
yang sangat besar dan masuk ke zona badai petir di dalamnya yang berisi angin
kuat dan hujan deras, akibatnya turbulensi hebat pun terjadi.
Karena navigasi
FMS (Flight Monitorin System) rusak, akibatnya pilot mematikan auto-pilot ke
manual menggunakan IRS (Inertial Reference Systems) atau INS (Nertial
Navigation System), adalah sebuah bantuan navigasi yang menggunakan sensor
komputer, gerak (accelerometers) dan sensor rotasi (gyroscope) untuk terus
menghitung melalui perhitungan mati posisi, orientasi, dan kecepatan (arah dan
kecepatan gerakan) dimana pesawat bergerak tanpa perlu referensi eksternal.
adam air 547Tapi
mereka tak mengetahuui troubleshooting pesawat secara baik, karena jika
auto-pilot dimatikan, maka tampilan pada dashboard pesawat akan mati selama 30
detik untuk re-start.
Nah, pada saat
pilot mematikan auto-pilot ke manual menggunakan IRS, merekapun panik karena
perangkat mati.
Ditambah
pandangan diluar yang gelap akibat sedang berada didalam badai awan
comulonimbus, maka pilot juga mengalami disorientasi lalu pesawat terbang
miring tanpa mereka sadari, dan kemudian menukik tajam menghujam ke laut dekat
kota Majene, Sulawesi Barat.
Namun menurut
seorang mantan pilot British Airways, Stephen Buzdygan pesawat AirAsia QZ8501
bisa jadi juga mengalami turbulensi yang cukup hebat ketika terkena badai yang
berada di dalam awan comulonimbus dan jatuh ke laut. “Pilot sulit mengendalikan
pesawat saat kondisi tersebut,” ujar dia kepada Telegraph.
3. Cuaca Ekstrem
Teori lain
menyebut cuaca ekstrem menjadi pemicu jatuhnya pesawat. Diketahui, cuaca di
rute AirAsia QZ8501 saat itu sangat buruk dengan adanya awan kumulonimbus yang
padat dan berukuran besar.
Ahli penerbangan
Neil Hansford menilai menembus awan kumulonimbus (Cb) merupakan langkah diluar
perkiraan pilot AirAsia. Kata dia, pilot sudah siap dengan rute ekstrem
tersebut, tapi belum tentu siap untuk menembus awan “thunderstorm”, nama lain
dari kumulonimbus. (mirip juga seperti Adam Air 574).
“Mungkin ini awan
cumulonimbus dengan badai petir yang sangat ekstrem. Sangat jarang ada pesawat
yang dirancang bisa melintasi cuaca tersebut,” kata Neil kepada Nine News.
Sebelumnya diketahui, pilot AirAsia sempat meminta untuk bergeser ke kiri dan
naik ke atas. Diduga untuk menghindari awan kumulonimbus. Namun pihak ATC
dikabarkan tak mengizinkan naik ke atas karena ada pesawat lain yang melintas.
4. Ketinggian
Ekstrem
Terkait
permintaan pilot untuk naik ketinggian demi menghindari cuaca buruk, maka
muncul dugaan bahwa pesawat berada pada ketinggian yang ekstrem dalam waktu
singkat. Misal naik 6.000-9000 meter per menit yang membuat pesawat menjadi tak
terkendali dan justru jatuh menukik.
Namun menurut
Direktur Perusahaan Konsultan Penerbangan Ailevon Pacific, Oliver Lamb, hal itu
sangat tidak mungkin. “Butuh energi lebih jika harus naik ke ketinggian
ekstrem. Jika hal itu benar terjadi, aku tak pernah menyangka ada pesawat bisa
seperti itu,” terangnya.
Namun perlu diketahui pula, bahwa Airbus jenis A320 Air Asia
ini sedang terbang dibawah peringatan dari European Aviation Safety Agency
(EASA) yang memperingatkan seluruh maskapai di dunia yang menggunakan pesawat
Airbus tipe tertentu agar mewaspadai potensi pesawat lepas kendali ketika
menanjak (stall warning).
Dokumen itu
dirilis pada 10 Desember 2014 dengan nomer dokumen AD #: 2014-25-51, ditujukan
kepada seluruh pemilik Airlines.
5. Catastrophic
Metal Fatigue
Spekulasi lain
menduga pesawat AirAsia QZ8501 mengalami fenomena ‘catastrophic metal fatigue‘
atau secara harfiah disebut ‘kelelahan logam’ yang terjadi pada logam bagian
pesawat dan membuatnya celaka. Kekuatan logam dapat berkurang, contohnya ibarat
kawat yang kedua arah yang berlawanan dibengkokkan secara terus-menerus hingga
melemah lalu putus, itulah yang disebut ‘kelelahan logam’.
Kejadian ini
pernah dialami oleh maskapai Aloha Airlines 243 dengan pesawat Boeing 737
register number N73711 pada tanggal 28 April 1988 lalu akibat lepasnya
sepertiga atap dibagian belakang kokpit pesawat.
aloha 243_foto
Aloha Airlines
Boeing 737 N73711 sepertiga atap di bagian belakang kokpit lepas akibat scratch
atau garis diluar pesawat yang ternyata tanda dari “kelelahan logam”
Walau begitu
pesawat yang di ko-piloti oleh seorang wanita ini masih dapat mengudara sekitar
15 menit setelah menukik turun dari ketinggian 24.000 kaki dengan kecepatan
sekitar 600 km perjam karena hilangnya dekompresi dikabin pesawat.
Pada saat
kejadian berlangsung, para penumpang yang duduk dibagian depan (Kelas-I) tidak
mendapatkan tabung oksigan karena selang oksigan dibagian atas telah hilang.
Kejadian itu
bermula dari terlihatnya berupa tanda
garis sepanjang 10 inchi diluar badan pesawat sekitar 2 meter dekat pintu masuk
bagian depan. Oleh para penumpang sebagai saksimata ketika akan memasuiki
pesawat, mengira hal biasa yang tak penting.
Mereka mengira
garis itu mungkin hanya merupakan cat yang mengelupas dan tak memberitahu
kepada krew. Setelah diteliti ternyata logam pada badan pesawat itu telah mengalami “kelelahan logam” atau
‘catastrophic metal fatigue‘. Salah seorang pramugari tersedot keluar pesawat
diatas lautan Pasifik dekat Hawaii dan
tidak ditemukan mayatnya hingga saat ini. (lihat kisahnya pada video dibawah
halaman).
Namun demikian,
menurut Direktur Perusahaan Konsultan Penerbangan Ailevon Pacific, Oliver Lamb,
pesawat komersial yang digunakan saat ini sudah menjalani perawatan dan uji
coba dengan baik. Jadi sangat tidak mungkin hal itu terjadi. “Pesawat yang
digunakan juga biasa masih terbilang baru. Setidaknya 7 tahun,” ujar Lamb.
6. Terhempas
karena lambatnya laju pesawat
sensor kecepatan
dan ketinggian pesawat
Sensor kecepatan
dan ketinggian pesawat jika tertutup es (icing) maka indikator akan terganggu
dan informasi yang diberikan oleh komputer ke dashboard menjadi salah.
Spekulasi lain
terkait jatuhnya AirAsia QZ8501 adalah karena pesawat mengalami mid-air stall
hingga membuat pesawat terhempas ke bawah. Menurut Direktur Perusahaan
Konsultan Penerbangan Ailevon Pacific, Oliver Lamb, kondisi tersebut karena
kapal terbang bergerak begitu lambat.
Hal ini bisa
terjadi akibat sensor-sensor dibadan pesawat tertutup es (icing) dan membuat
indikator pada dashboard terganggu dan memberikan info yang tak akurat.
Hal ini pernah
terjadi pada Air France AF447 yang menghadapi cuaca buruk sebelum jatuh.
Pesawat Air France AF447 jatuh karena dipicu lapisan es yang menutupi silinder
tipis pesawat pada tahun 2009.
Silinder itu merupakan alat untuk memberitahu pilot seberapa
cepat pesawat itu melaju. Akibat sensor diluar badan pesawat tertutup lapisan
es, mereka tidak tahu kecepatan pesawat.
Penyebab berikutnya ialah cara pilot Air France AF447
menangani masalah itu. Pilot memutuskan untuk melambatkan laju pesawat hingga
pesawat “mogok” atau nyaris berhenti diudara dan meluncur ke bawah lalu jatuh
di Samudera Atlantik dan tenggelam sedalam 4 kilometer! Hal ini mencerminkan
bagaimana pilot dan kopilot tidak terlatih untuk menangani situasi seperti itu.
(lihat kisahnya pada video dibawah halaman).
Namun menurut Lamb, hal itu mustahil untuk pilot Irianto.
“Hal ini sangat mustahil terjadi bagi pilot berpengalaman yang sudah mengetahui
kecepatan minimum yang harus ditempuh,” ungkap Lamb. “Pilot AirAsia pasti sudah
sangat terlatih. Lamb kembali menegaskan bahwa fakta penyebab jatuhnya pesawat
AirAsia QZ8501 hanya bisa diungkap berdasarkan black box.
Banyak spekulasi lainnya mengenai kenapa pesawat AirAsia
QZ8501 jatuh. Misal, kemungkinan mesin mati karena adanya badai es. Perlu
diketahui bahwa mesin jet pesawat tak akan mati akibat butiran es, karena tak
pernah ada kejadian pesawat jatuh akibat masalah ini.
(sumber: News.com.au/ telegraph/ liputan6/ Ailevon Pacific/
Wikipedia/ indocropcircle,berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar